Menyimak Tirai "GOBANG KABUYUTAN"



Oleh : Asep R Sundapura

Trang trang kolentrang
Wah, ramai betul situasinya. Seperti medan perang, tapi bukan pedang yg beradu melainkan suara-suara senyap di laman Fesbuk, Teuwiteur, Koran, Tivi, atau sesekali di jalanan nyata. Gaduh, seperti trang-trang beradunya pedang di palagan tempur.

Si Londok paeh nundutan
Londok, binatang yang mewakili gambaran makhluk peladang dan huma Krn di sawah, di kota apalagi di laut si londok susah ditemui, hewan yg punya kemampuan malih rupa dg mendayagunakan alam sekitarnya. Cocok betul dg gambaran masyarakat Sunda yg pandai membangun harmoni dg lingkungan sekitar. Sayang, ditengah situasi yg gaduh trang-trang bak perang Si Londok malah setengah sadar. Mungkin dia terlelap di masa lalu (Pajajaran Heubeul?) dan terbius di impian masa depan yg tak pasti (Pajajaran Anyar?) hingga tak menyadari apa yg terjadi disekitarnya (daerahnya sedang jadi medan perang jadi rebutan orang lain). Maka, celakalah dia. Mati tanpa tahu apa yg sebenarnya sedang terjadi. 

Tigubrus kana durukan
Trang-trang kolentrang dari kegaduhan tadi menimbulkan api, api yg besar. Api, lambang kehancuran. Mungkin huru-hara, keributan ...entahlah. Huru-hara mudah saja terjadi dg massifnya hoax atau kegaduhan di medsos. Atau retaknya kebersamaan Anak Bangsa. Dan disitulah matinya si Londok. Dia yg tidak menyadari situasi yg sedang terjadi semakin tidak sadar sudah berada dekat api, api keributan nyala kehancuran (perang sanekala, war of panglokatan?) Kelengahannya akhirnya menghantarkannya ke dalam "durukan" - dlm bahasa Wangsit Siliwangi,  hingga hrs tersingkir dan perlu dipanggil lg oleh Nusantara yg ingin meminta maaf.

Mesat Gobang Kabuyutan
Seperti burung phoenik, yg dari abu kematiannya melahirkan phoenik baru .... Maka kematian Si Londok yg lengah ternyata menjadi kunci pembuka mesat atau terhunusnya Gobang Kabuyutan (budak Angon & budak jenggotan?) Gobang, bukan kujang. Gobang itu mencerminkan pakarang Sunda era Islam. Sedangkan kujang, merefleksikan pusaka Sunda era buhun. Dan gobang itu  tersimpan di Kabuyutan ....  Mengapa Kabuyutan? Bukankah Kabuyutan adalah tempat bernilai spiritual dlm masyarakat Sunda Kuno. Dulu, banyak tmpat spt itu yg justru diruntuhkan oleh gobang. Kabuyutan bsa dibilang batu lingganya Buhun. Mungkinkah, adanya ungkapan Gobang Kabuyutan dpt dianggap suatu bentuk siloka sinergisitas dari kekuasaan baru (Islam) dengan nilai2 buhun Sunda. Bahwa Islam (Gobang) dan Sunda (Kabuyutan) sejatinya dpt menjadi sebuah harmoni yg powerfull (mesat/ terhunusnya sebuah kekuatan). Bisa dibilang, itu gambaran dari Muslim yg Nyunda atau Orang Sunda yg taat. Pandangan spt ini memang sulit diterima sebagian orang, utamanya oleh Orang Sunda yg melihat Islam sbg Ormas keagamaan, Arabis, radikal dll atau oleh orang Islam yg menganggap Sunda kental dg budaya kemusrikan, Hinduistik dll. Dua pandangan spt ini yg rentan menimbulkan trang-trang kolentrang. 

Namun ...... Seandainya kita membaca mangsa dan wayah sebagaimana Pandita Tundapura dari Pamujan Pakuan .... Tentu orang Sunda akan mengerti mengapa ADA Gobang mesat ti Kabuyutan. 

Sunda Hudang

Tidak ada komentar